Rabu, 22 Juni 2011

legenda gunung meratus ( disadur dari group bubuhan kulaan urang alay borneo )

Di Kalimantan ada gunung panjang yang membentang dari arah barat hingga ke bagian timur pulau ini. Gunungnya memang tak terlalu tinggi, namun dapat kita bayangkan luas dan panjangnya karena membentang melalui empat Provinsi yaitu Kalimantan Selatan, Tengah, Timur dan Barat. Gunung yang tumbuh berjajar di sepanjang jalur ini disebut sebagai Gunung Meratus. Namun entah mengapa sekarang Gunung Meratus hanyalah Pegunungan yang membentang dari selatan sampai utara Provinsi Kalimantan Selatan saja sedangkan sambungan Pegunungan tersebut yang membentang dari Provinsi Kalimantan Timur sampai

Misteri Gunung Meratus Dikalimantan


Misteri Gunung Meratus







Di Kalimantan ada gunung panjang yang membentang dari arah barat hingga ke bagian timur pulau ini. Gunungnya memang tak terlalu tinggi, namun dapat kita bayangkan luas dan panjangnya karena membentang melalui tiga Provinsi yaitu Kalimantan Selatan dan Tengah serta Timur. Gunung yang tumbuh berjajar di sepanjang jalur ini disebut sebagai Gunung Meratus.




TAK ada gambaran jelas yang pasti tentang berapa panjang dan banyaknya gunung tersebut. Adapun yang digambarkan sementara ini sebagian besar diperkirakan hanyalah reka-reka yang tak pasti – baik soal jumlah gunung maupun ukuran panjangnya. Buku “Di Pedalaman Borneo“ yang ditulis oleh A.W. Nieuwenhuis pada tahun 1894 pun bahkan tidak menyebutkan hal itu.

Aneka Anggrek di Pegunungan Meratus Kalimantan Selatan


Anggrek Pegunungan Meratus Kalimantan Selatan


Di Kalimantan ada gunung panjang yang membentang dari arah barat hingga ke bagian timur pulau ini. Gunungnya memang tak terlalu tinggi, namun dapat kita bayangkan luas dan panjangnya karena membentang melalui tiga Provinsi yaitu Kalimantan Selatan dan Tengah serta Timur. Gunung yang tumbuh berjajar di sepanjang jalur ini disebut sebagai Gunung Meratus.


TAK ada gambaran jelas yang pasti tentang berapa panjang dan banyaknya gunung tersebut. Adapun yang digambarkan sementara ini sebagian besar diperkirakan hanyalah reka-reka yang tak pasti – baik soal jumlah gunung maupun ukuran panjangnya.



Aruh Ganal Upacara adat

Upacara Aruh Ganal

Upacara Aruh Ganal ini merupakan upacara adat yang terdapat pada suku Dayak Bukit di Pegunungan Meratus. Suku Bukit yang sering melaksanakan upacara ini antara lain daerah Mancabung, Harakit, Balawaian, Batung, Danau Darah, dan Ranai.
Aruh Ganal artinya Kenduri Besar (aruh = kenduri, ganal = besar). Jadi upacara ini dilaksanakan secara besar-besaran oleh seluruh warga kampung dan dihadiri undangan dari kampung lainnya. Dinamai aruh ganal karena ada juga tradisi aruh kecil yang disebut baatur dahar. Baatur dahar ini

Surat Wasiat Sultan Adam Untuk Pangeran Hidayatullah

Surat Wasiat Sultan Adam Untuk Pangeran Hidayatullah



surat-wasiat.jpg
Naskah Asli tersimpan baik oleh Ratu Yus Roostianah Keturunan garis ke-3 / cicit dari Pangeran Hidayatullah
Surat diatas merupakan tulisan tangan dalam huruf arab berbahasa Melayu Banjar.
Terjemahan :
Bismillahirrahmannirrohim
Asyhadualla ilaha ilalloh naik saksi aku tiada Tuhan lain yang di sembah dengan se-benar2nya hanya Allah
Wa asyhaduanna Muhammadarasululloh naik saksi aku Nabi Muhammad itu se-benar2nya pesuruh Allah Ta’ala

sastra Banjar KESAH BALAI KALIH


Quantcast
<![CDATA[//><!]]>
-->
KESAH BALAI KALIH
Oleh: TumanggungArga Sandipa BatanggaAmas
Bahari kala di Pagunungan Maratus nang wadanya kira-kira diapit Gunung Tambung wan Gunung Mangkurung suah ada kampung nang bangaran Balai Tangga Amas. Bubuhan kula-kula kita nang ba’utu (begana) disia ti hidupnya damai, tantram, wan makmur bangat, sualnya di kampung Balai Tangga Amas tanahnya subur kada bataha kakurangan makanan. Kapala adatnya nang maatur disia ti bijaksana bangat jua. Kada hiran munnya paharatan Aruh Ganal, banyak bubuhan nang tumatan kampung subalah bailang umpat maramiakan, sualnya pasti banyak makanan nang kawa umpat dimakan.

Perang Banjar dalam Perjuangan RI dalam Refleksi Anak Banua


Perang Banjar dalam Refleksi Anak Banua



Setiap tanggal 11 Oktober, kita diingatkan tentang peristiwa sejarah wafatnya seorang pejuang banua yang selalu dikenang namanya. Ia, Gusti Inu Kartapati alias Pangeran Antasari bin Pangeran Masohud bin Pangeran Amir, lokomotif dan ikon pecahnya De Bandjermasinsche Krijg atau Perang Banjar (1859-1905).

De Bandjarmasinse Krijg "DARAH SYUHADA TUMPAH MEMBASAHI BUMI SUNGAI MALANG"





DARAH SYUHADA TUMPAH MEMBASAHI BUMI SUNGAI MALANG
15 September 1860 (150 Tahun Silam)

Disalin kembali Oleh Adum M. Sahriadi (Pambakal Sambang Lihum)
dari Kisah “PERANG BANJAR”
PENANGKAPAN HAJI ABDULLAH (15 SEPTEMBER 1860)
Judul Asli “De Bandjarmasinse Krijg”
Oleh: W.A. VAN RESS
Alih Bahasa oleh: H.M. SALEH
Bibliotheek MINSEIBU Banjarmasin
(Halaman 293-301)

Sungai di Amuntai dengan jukung-jukung

HAMUK HANTARUKUNG Kandangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan

HAMUK HANTARUKUNG

Hamuk Hantarakung

Makam Tumpang Talu terletak di Kampung Parincahan Kecamatan Kandangan, berjarak sekitar 1 Km dari pusat kota Kandangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Makam ini adalah makam tiga orang pejuang yakni Bukhari, Landuk dan H.Matamin dalam satu

Sejarah PERANG BANJAR (Sebuah Ringkasan)



PERANG BANJAR (Sebuah Ringkasan)

PERANG BANJAR
(Sebuah Ringkasan)
Dikisahakan Beasa oleh: Adum M. Sahriadi (Pambakal Sambang Lihum)

Monumen Perang Banjar
Banua Borneo ne sabalum bubuhan bangsa Eropa datangan, sudah ada juwa babarapa nagara kerajaan, nangkaya Kasultanan Sambas, Kasultanan Pontianak,

Sejarah Keraton Banjar, Dan Siapa yang Pantas Bertahta?


Keraton Banjar, Siapa yang Pantas Bertahta?

Keraton Banjar, Siapa yang Pantas Bertahta?
Ditulis Oleh: Muhammad Alpiannor



Makam Sultan Suriansyah, Kuin-Banjarmasin
24 September 1526 tonggak awal berdirinya Kerajaan Banjar dengan Pangeran Samudera yang seiring keislamannya kemudian bergelar Sultan Suriansyah sebagai raja pertamanya, tanggal ini pulalah kemudian ditetapkan sebagai hari jadi kota Banjarmasin.
Hampir 5 Abad peristiwa itu berlalu, bahkan Banjar sebagai sebuah kerajaan telah mampu bertahan sebagai ‘negara’ dengan diperintah silih berganti sultan hingga bertahan lebih dari 3 abad lamanya (1526-1860), runtuh seiring dengan semakin dalamnya cengkeraman penjajah Belanda yang berhasil masuk dari berbagai aspek baik itu perdagangan, kekuatan militer, sampai pada manipulasi-manipulasi adu dombanya dengan memanfaaatkan friksi internal kerajaan banjar saat itu.
Sebagaimana di maklumi, sejarah mencatat salah satu kelemahan dari system monarkhi/dynasty adalah terjadinya konflik internal dalam perebutan kekuasaan antar elit istana sehingga kemudian membuat kerapuhan dalam system pemerintahan sekaligus juga memudahkan pihak ketiga untuk masuk mengambil kesempatan dari konflik horizontal ini.
Rekontruksi Keraton Banjar
Wacana Pembangunan replika Keraton Banjar yang akhir-akhir ini digaungkan kiranya patutlah untuk kita apresiasi di tengah masih dangkalnya pengetahuan kita sebagai Urang banjar mengenai sejarah lokal di Kalimantan Selatan. Bahwa pada masa lalu di abad 16 pernah ada kerajaan di Tanah Banjar. Terlalu jauh untuk kita kemudian skeptis terhadap wacana ini apabila kita menganggap bahwa ada upaya untuk menghidupkan kembali trah bangsawan bahkan mungkin dengan kemunculannya akan melegitimasi kekuatan politik baru di Tanah Banjar dengan segala fasilitas dan kewenangan yang berlebih tentunya. Namun kita harapkan apabila hal ini dapat terealisasi mudah-mudahan mampu memunculkan identitas kebanjaran kita pada konteks kekinian sekaligus juga mencoba menggali lagi kekayaan-kekayaan Banjar pada ranah cultural (jauh dari kesan cauvinisme). Adapun mengenai rencana letak dari pembangunan replikanya yang akan di bangun di wilayah Martapura, hal ini kiranya tidaklah perlu menjadi perdebatan karena dalam sejarahnya kerajaan banjar pernah menempati sedikitnya 3 tempat keraton (Kuin, Tatas, dan Kayutangi Martapura).
Realisasi akan rekontruksi secara fisik Keraton Banjar tentunya tidaklah sulit diwujudkan, secara sederhana dengan kemampuan dan kemauan para stake holder untuk mengucurkan anggaran untuk pembangunannya, ditambah kesediaan para ahli waris pemegang artifact sebagai wujud budaya untuk dijadikan sebagai koleksi keraton, maka akan serasa lengkaplah apa yang menjadi tujuan dari berdirinya keraton tersebut sehingga diharapkan minat akan keingintahuan tentang sejarah Banjar dapat terfasilitasi yang tentunya akan menjadi icon baru untuk studi wisata sejarah Banjar buat generasi Muda. Pertanyaannya sekarang, apakah hanya pembangunan fisik yang dikedepankan? Atau ada agenda lain yang mengikutinya? Misalnya dengan kemudian mencari ahli waris keturunan Sultan Banjar untuk diangkat menjadi sultan di keraton yang baru sehingga lengkaplah sudah rekontruksi Kerajaan Banjar dalam konteks kekinian. Namun ketika wacana ini di munculkan, dokumen dan fakta sejarah serta mekanisme dalam trah dinastilah yang harus di kedepankan.
Usurpasi dalam Kerajaan Banjar
Usurpasi secara sederhana bisa kita fahami sebagai upaya pengambilan hak yang bukan menjadi haknya dalam hal ini adalah tahta. Sebagaimana sejarah kerajaan pada umumnya di Indonesia, kerajaan banjar juga pernah mengalami friksi antar keluarga raja bahkan sedikitnya ada tiga kali usurpasi terjadi dalam sejarah perjalan eksistensi kerajaan banjar.
Pertama kali kemunculannya pada abad 16, terbentuknya Kerajaan Banjar juga merupakan efek domino dari sebuah usurpasi, ketika Pangeran Samudera sang penerus tahta Kerajaan Daha di usurpasi oleh sang Paman Pangeran Tumenggung, sehingga Pangeran Samudera menjadi putera mahkota yang terbuang. Kemudian secara singkat diceritakan Pangeran Samudera mampu menggalang kekuatan di dukung oleh para patih (Masih, Balitung, Kuwin, etc) yang masih memegang teguh aturan pewarisan tahta, ditambah masuknya pihak ketiga sebagai sekutu (Kerajaan Demak) dengan kompensasi Islamnya, bersinergilah mereka melawan sang usurpator (Pangeran Tumenggung) untuk lengser dari tahta yang bukan haknya, meskipun kemudian pusat kerajaan digeser ke Kuin dengan nama baru dan agama baru (Islam), yaitu kerajaan Banjar.
Usurpasi ke dua terjadi pada abad ke 18 ketika Sultan Hamidullah Sultan Kuning (tutus tuha) sang raja saat itu meninggal dunia. Dia meninggalkan putra mahkota yang masih belum baligh (Muhammad Aminullah), untuk sementara kekuasaan diserahkan pada adiknya mangkubumi Sultan Tamjidillah I (tutus anum), yang kemudian ketika Aminullah dewasa terjadi friksi karena Tamjidillah I tidak menyerahkan kekuasaannya pada keponakannya yang berhak, namun kemudian malah mengangkat anaknya Nata sebagai penerus tahta. Unsurpasi ini berhasil di masuki pihak ketiga, yaitu Belanda yang datang sebagai ‘juru damai’ yang mana salah satu perannya adalah membagi kekuasaan Kerajaan Banjar dalam 2 keraton, Kayutangi Martapura dan Tatas- Banjarmasin untuk Aminullah. Usaha-usaha memecah belah ini kemudian lambat laun menjadi akut yang puncaknya dihapusnya Kerajaan Banjar.
Usurpasi yang ketiga pada pertengahan abad 19 ketika Sultan Adam mewasiatkan untuk Hidayatullah sebagai raja, namun dengan intervensinya yang terlalu dalam, Belanda menunjuk Tamjidillah II sebagai sultan yang mana ini melanggar wasiat raja terdahulu sekaligus menantang kehendak rakyat yang saat itu notabene menginginkan Hidayatullah daripada Tamjidillah II. Konflik ini bukan lagi antar dinasti (tutus tuha vs tutus anum) namun internal dinasti muda (tutus anum).
Siapakah yang Layak Bertahta?
Paparan singkat di atas, dapat dipahami telah terbentuk 2 trah dalam keturunan Sultan Suriansyah, yaitu Dinasti Tua/tutus tuha keturunana Sultan Hamidullah (Sultan Kuning) dan Dinasti Muda/tutus Anum keturunan Sultan Tamjidillah I. Secara de yure apabila berdasar pada aturan dinasti pada umumnya, maka keturunan Hamidullah lah yang meneruskan tongkat estafet raja banjar karena mereka Dinasti tua, namun secara defacto yang kemudian memegang kendali Kerajaan Banjar adalah dinasti muda, yaitu Keturunan Tamjidillah I (Nata-Sulaiman-Adam-Abdulrachman-Hidayatullah/Tamjidillah II).
Namun pada awal berkobarnya Perang Banjar (1859) nampaknya persaingan 2 trah dinasti ini telah mereka kesampingkan untuk bersama-sama menentang penjajah Belanda yang sudah mulai mencampuri lebih jauh internal kerajaan banjar. Momen perlawanan ini kemudian memunculkan kembali trah tutus tuha yang sudah lama ‘menghilang’ yaitu Pangeran Antasari (Buyut Aminullah). Kemunculannya bukan untuk menambah masalah dengan ingin bertahta, tetapi jiwa besarnya lebih membela Hidayatullah daripada Tamjidillah, sebagai wujud nyata menentang Belanda. Untuk selanjutnya keturunan Antasari (Dinasti Tua) terus melakukan perlawanan terhadap Belanda sampai meluas wilayah perang hingga hulu Barito dengan melibatkan koleganya yang mana setelah Antasari, perlawanan dilanjutkan oleh anaknya Gusti Muhammad Said dan Muhammad Seman sampai keturunan selanjutnya, yaitu Gusti Berakit (1906) meskipun Kerajaan Banjar sudah dihapuskan Belanda pada tahun 1860. Sehingga perlawanan yang berkepanjangan ini (1859-1906) terhadap belanda ini merupakan perlawanan terpanjang dalam sejarah perlawanan di Indonesia (lihat Helius Syamsudin, Pegustian dan Tumenggung).
Akhirnya Tanpa mengesampingkan fakta sejarah terhadap apa yang sudah terjadi dalam struktur istana raja banjar dan dengan referensi yang bisa digali dari berbagai sumber mengenai kemunculan, kejayaan, intrik, sampai keruntuhan Kerajaan Banjar, bisa didapat garis keturunan yang pantas secara De facto dan De yure untuk menduduki tahta di Keraton Banjar yang baru pada ranah cultural. Semoga.

Dayak Bakumpai : Dayak dan Muslim sungai part 2




Masyarakat Dayak (Bakumpai) di Sungai Barito tempo dulu
Suku Bakumpai atau Dayak Bakumpai adalah subetnis Dayak Ngaju yang beragama Islam.[3] Suku Bakumpai terutama mendiami sepanjang tepian daerah aliran sungai Barito di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah yaitu dari kota Marabahan, Barito Kuala sampai kota Puruk Cahu, Murung Raya. Suku Bakumpai merupakan suku baru yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 7,51% dari penduduk Kalimantan Tengah, sebelumnya suku Bakumpai tergabung ke dalam suku Dayak pada sensus 1930.[4]

Sungai Kapuas , batang banyu nganal



Sungai Kapuas



Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas





Kapuas


Sungai Kapuas dilihat dari Jembatan Kapuas

Sungai Kapuas dilihat dari Jembatan Kapuas
Mata air Pegunungan Muller
Mulut sungai Selat Karimata
Negara DAS Indonesia
Panjang 1.143 km
Ketinggian mata air ...
Luahan rata-rata ... m³/s
Wilayah DAS ... km²

Lomba perahu di sungai Kapuas (sekitar 1920)
Sungai Kapuas atau sungai batang Lawai (Laue)[1][2][3][4][5] merupakan sungai yang berada di Kalimantan Barat. Sungai ini merupakan sungai terpanjang di Indonesia dengan panjang total 1.143 km.

Sungai ini merupakan rumah dari lebih 300 jenis ikan.
Belakangan ini sungai ini tercemar berat, akibat aktivitas penambangan emas di sungai ini. Walaupun telah mengalami pencemaran Sungai Kapuas tetap menjadi urat nadi bagi kehidupan masyarakat di sepanjang aliran sungai ini. Sebagai sarana transportasi yang murah, Sungai Kapuas dapat menghubungkan daerah satu ke daerah lain di wilayah Kalimantan Barat. Dan selain itu juga merupakan sumber matapencaharian untuk menambah penghasilan keluarga dengan menjadi penangkap ikan. Sosial Budaya masyarakat Sungai Kapuas perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengingat pesatnya kemajuan teknologi dan informasi dapat memengaruhi pola berpikir masyarakat di sekitar aliran sungai Kapuas.
Nama Sungai Kapuas juga terdapat di Kalimantan Tengah, tepatnya di Kabupaten Kapuas. Sungai ini membentang sepanjang kurang lebih 600 km, dari kecamatan Kapuas Hulu sampai kecamatan Selat.

[sunting] Pranala luar


[sunting] Rujukan

  1. ^ (Melayu)Ras, Johannes Jacobus (1990). Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh. Malaysia: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka. ISBN 9789836212405. ISBN 983621240X
  2. ^ (Inggris)Malayan miscellanies, Malayan miscellanies (1820). Malayan miscellanies . Malayan miscellanies. 
  3. ^ (Inggris)MacKinnon, Kathy (1996). The ecology of Kalimantan. Oxford University Press. ISBN 9780945971733. ISBN 0-945971-73-7
  4. ^ (Inggris)East India Company, East India Company (1821). The Asiatic journal and monthly miscellany, Volume 12. Wm. H. Allen & Co. 
  5. ^ (Inggris)van Dijk, Ludovicus Carolus Desiderius (1862). Neêrlands vroegste betrekkingen met Borneo, den Solo-Archipel, Cambodja, Siam en Cochin-China: een nagelaten werk. J. H. Scheltema. hlm. 23. http://books.google.co.id/books?id=z_A_AAAAYAAJ&dq=Tapesanna%20Marta%20Sahary&pg=PA135#v=onepage&q=succadana&f=false. 


Dayak Kaharingan

Kaharingan/Hindu Kaharingan adalah religi suku atau kepercayaan tradisional suku Dayak di Kalimantan.[1] [2] Istilah kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan),[3] maksudnya agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Ranying), yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak di Kalimantan. Pemerintah Indonesia mewajibkan penduduk dan warganegara untuk menganut salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia. Oleh sebab itu kepercayaan Kaharingan dan religi suku yang lainnya seperti Tollotang (Hindu Tollotang) pada suku Bugis, dimasukkan dalam kategori agama Hindu sejak 20 April 1980[4], mengingat adanya persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam agama Hindu disebut Yadnya. Jadi mempunyai tujuan yang sama untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa, hanya berbeda kemasannya. Tuhan Yang Maha Esa dalam istilah agama Kaharingan disebut Ranying.
Kaharingan ini pertama kali diperkenalkan oleh Tjilik Riwut tahun 1944, saat Ia menjabat Residen Sampit yang berkedudukan di Banjarmasin. Tahun 1945, pendudukan Jepang mengajukan Kaharingan sebagai penyebutan agama Dayak. Sementara pada masa Orde Baru, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan. Pemilihan integrasi ke Hindu ini bukan karena kesamaan ritualnya. Tapi dikarenakan Hindu adalah agama tertua di Kalimantan.
Lambat laun, Kaharingan mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau BALAI KAHARINGAN. Kitab suci agama mereka adalah panaturan dan buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), dan sebagainya.
Dewasa ini, suku Dayak sudah diperbolehkan mencantumkan agama Kaharingan dalam Kartu Tanda Penduduk. Dengan demikian, suku Dayak yang melakukan upacara perkawinan menurut adat Kaharingan, diakui pula pencatatan perkawinan tersebut oleh negara. Hingga tahun 2007, Badan Pusat Statistik Kalteng mencatat ada 223.349 orang penganut Kaharingan di Indonesia.
Tetapi di Malaysia Timur (Sarawak, Sabah), nampaknya kepercayaan Dayak ini tidak diakui sebagai bagian umat beragama Hindu, jadi dianggap sebagai masyarakat yang belum menganut suatu agama apapun.
Pada tanggal 20 April 1980 Kaharingan dimasukan ke dalam agama Hindu Kaharingan.[5]
Organisasi alim ulama Hindu Kaharingan adalah Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) pusatnya di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

[sunting] Referensi


Panglima Batur (lahir di Buntok Baru, Barito Utara, Kalimantan Tengah pada tahun 1852 )




Makam Panglima Batur di Komplek Makam Pangeran Antasari.
Panglima Batur (lahir di Buntok Baru, Barito Utara, Kalimantan Tengah pada tahun 1852 - meninggal di, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 5 Oktober 1905 pada umur 53 tahun)[1] adalah seorang panglima suku Dayak Bakumpai[2] dalam Perang Banjar yang berlangsung di pedalaman Barito, sering disebut Perang Barito, sebagai kelanjutan dari Perang Banjar. Panglima Batur adalah salah seorang Panglima yang setia pada Sultan Muhammad Seman. Panglima Batur seorang Panglima dari suku Dayak yang telah beragama Islam berasal dari daerah Buntok Kecil, 40 Km di udik Muara Teweh.

Gelar Panglima khusus untuk daerah suku-suku Dayak pada masa itu menunjukkan pangkat dengan tugas sebagai kepala yang mengatur keamanan dan mempunyai pasukan sebagai anak buahnya. Seorang panglima adalah orang yang paling pemberani, cerdik, berpengaruh dan biasanya kebal.
Panglima Batur yang bersama Sultan mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat Panglima Batur mendapat perintah untuk pergi ke Kesultanan Pasir untuk memperoleh mesiu, saat itulah benteng Manawing mendapat serangan Belanda. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan marsose yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing pada Januari 1905. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa.

Tertegun dan dengan rasa sedih yang mendalam ketika Panglima Batur kembali ke benteng Manawing yang musnah, dan Sultan Muhammad Seman, pimpinannya telah tewas. Panglima Batur dan teman seperjuangannya Panglima Umbung pulau ke kampung halaman mereka masing-masing. Panglima Umbung kembali ke Buntok Kecil. Sultan Muhammad di Seman di makamkan di puncak gunung di Puruk Cahu.
Kini Panglima Baturlah satu-satunya pimpinan perjuangan yang masih bertahan. Ia terkenal sangat teguh dengan pendiriannya dan sangat patuh dengan sumpah yang telah diucapkannya, tetapi ia mudah terharu dan sedih jika melihat anak buahnya atau keluarganya yang jatuh menderita. Hal itu diketahui oleh Belanda kelemahan yang menjadi sifat Panglima Batur, dan kelemahan inilah yang dijadikan alat untuk menjebaknya. Ketika terjadi upacara adat perkawinan kemenakannya di kampung Lemo, dimana seluruh anggota keluarga Panglima Batur terkumpul, saat itulah serdadu Belanda mengadakan penangkapan. Pasangan mempelai yang sedang bertanding juga ditangkap dimasukkan ke dalam tahanan, dipukuli dan disiksa tanpa perikemanusiaan. Cara inilah yang dipakai Belanda untuk menjebak Panglima Batur.

Dengan perantaraan Haji Kuwit salah seorang saudara sepupu Panglima Batur Belanda berusaha menangkapnya. Atas suruhan Belanda, Haji Kuwit mengatakan bahwa apabila Panglima Batur bersedia keluar dari persembunyian dan bersedia berunding dengan Belanda, barulah tahanan yang terdiri dari keluarganya dikeluarkan dan dibebaskan, dan sebaliknya apabila Panglima tetap berkeras kepala, tahanan tersebut akan ditembak mati. Hati Panglima Batur menjadi gundah dan dia sadar bahwa apabila dia bertekad lebih baik dia yang menjadi korban sendirian dari pada keluarganya yang tidak berdosa ikut menanggungnya. Dengan diiringi orang-orang tua dan orang sekampungnya Panglima Batur berangkat ke Muara Teweh. Sesampainya di sana bukan perundingan yang didapatkan tetapi ia ditangkap sebagai tawanan dan selanjutnya dihadapkan di meja pengadilan. Ini terjadi pada tanggal 24 Agustus 1905. Setelah dua minggu ditawan di Muara Teweh, Panglima Batur diangkut dengan kapal ke Banjarmasin.

Di kota Banjarmasin, dia diarak keliling kota dengan pemberitahuan bahwa inilah pemberontak yang keras kepala dan akan dijatuhkan hukuman mati. Pada tanggal 15 September 1905 Panglima Batur dinaikkan ke tiang gantungan. Permintaan terakhir yang diucapkannya dia minta dibacakan Dua Kalimah Syahadat untuknya. Dia dimakamkan di belakang masjid Jami Banjarmasin, tetapi sejak 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks Makam Pahlawan Banjar.


[sunting] Referensi

  1. ^ Banjarmasin Post - Monumen Panglima Batur segere dibangun
  2. ^ (Indonesia)Helius Sjamsuddin; Pegustian dan Temenggung: akar sosial, politik, etnis, dan dinasti perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, 1859-1906; Balai Pustaka, 2001

[sunting] Rujukan




Bahasa Dayak Ngaju 40 Tahun Kemudian

Oleh: Nasrullah
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk melestarikan bahasa daerah, di antaranya dengan menerbitkan buku. Cara inilah yang dilakukan oleh Anthony Nyahu dalam bukunya Ayo Belajar Bahasa Dayak Ngaju. Dari judul buku sudah dapat diketahui ajakan untuk belajar bahasa Dayak.
Kebhinnekaan Indonesia yang terdiri dari ratusan dan ribuan sub-suku bangsa, membuat bahasa yang digunakan pun beragam. Masing-masing daerah memiliki bahasa sendiri. Bahkan sering terjadi, malah hanya dalam satu daerah yang secara geografis tidak begitu luas dan besar, bahasa yang digunaka justru sangat banyak. Namun demikian, tidak semua bahasa popular secara nasional, bahkan sudah mulai ditinggalkan penggunanya dengan berbagai alas an.
Bahasa daerah tertentu sering tidak mampu membendung pengaruh bahasa nasional atau yang datang dari wilayah lain. Sebaliknya, pengaruh bahasa daerah ke dalam bahasa nasional juga berlangsung. Berbagai kata dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa daerah yang diserap. Hanya pengaruh itu didominasi oleh bahasa-bahasa “besar” seperti Jawa dan Sunda, atau bahasa Banjar, Bugis, dan Minang dalam bahasa tertentu (Abdullah, 2006:95).
Bahasa-bahasa daerah yang menasional itu jika dikerucutkan hanya bahasa Jawa, Sunda, Betawi dan Minang. Selain didukung oleh penuturnya yang berjumlah banyak dan dominan, produk budaya pop seperti sinetron, film, dan lagu, turut menjadikan bahasa-bahasa dominan. Penyebaran penutur bahasa-bahasa dominan melalui transmigrasi pun membuat mereka kian digjaya.

Dayak dari segi bahasa harus diakui kurang begitu terdengar gaungnya secara nasional. Dayak lebih dikenal melalui persoalan-persoalan sosial. Buku Ayo Berbahasa Dayak Ngaju ini tentu ingin menepis anggapan itu. Mengenal budaya Dayak dapat dimulai dari belajar bahasa Dayak.
Meski Anthony Nyahu bukanlah orang pertama menulis tentang bahasa Dayak Ngaju, karena dahulu telah terbit kamus Dayak Jerman oleh Hardeland, tahun 1859. Kemudian, tahun 1922, K.D Epple telah membuat daftar kata dan petunjuk/tata bahasa dalam Soerat Loegat Basa Ngadjoe. Pada tahun 1933, diterbitkan pula Kurze Einfuhrung In die Ngadjoe-Dajakprache. Tahun 1970, putra daerah, Tjilik Riwut menulis Peladjaran Bahasa Dayak Ngaju (h. 3).
Jika melihat rentang waktu penulisan bahasa Dayak Ngaju di atas, hingga terbit buku ini tahun 2010, ada yang terasa aneh. Kita seolah dibangunkan dari tidur panjang selama  40 tahun. Berarti selama itu pula, persoalan bahasa Dayak Ngaju menjadi kurang diperhatikan. Meskipun tahun 1987 diadakan rapat tentang ejaan bahasa Dayak Ngaju, rupanya belum betul-betul membuat tersentak dari tidur panjang.

Buku yang terdiri dari enam bab ini, mengungkapkan tentang ejaan bahasa Dayak Ngaju, Jenis-jenis kata dalam bahasa Dayak Ngaju, Afiksasi dan reduplikasi dalam bahasa Dayak Ngaju, Kalimat dalam bahasa Dayak Ngaju, Istilah-istilah dalam bahasa Dayak Ngaju, Peribahasa Dayak Ngaju yang terkandung juga cerita rakyat Kalimantan Tengah.
Setiap pembaca buku ini tentu dapat melihat dari sudut pandang berbeda. Kalangan peminat bahasa akan melihat dari persoalan kebahasaan. Bahasa dapat juga menjadi pengikat hubungan orang tua dan anak, melalui cerita-cerita berbahasa daerah.
Dari sudut pandang lain, dapat dilihat bahasa alat pengembangan kecerdasan emosional dan intelektual yang dapat ditemukan dari ungkapan rasa senang, sedih, benci dan sebagainya hingga dalam peribahasa atau ungkapan lokal. Itulah sebabnya, menurut Sibarani (2004:77) kebudayaan menjadi wadah suatu bahasa sangat menentukan pusat perasaan dalam masyarakat itu yakni sumber-sumber ungkapan yang menyatakan perasaan dalam suatu bahasa. Dengan kata lain, pusat perasaan di sini adalah pusat ungkapan perasaan.
Buku ini akan menjadi lebih menarik jika memuat keunikan bahasa Dayak Ngaju dan contoh di masa sekarang. Keunikan bahasa termasuk juga istilah yang jarang dipakai. Selain itu, salah satu kelebihan kelompok bahasa Ngaju adalah istilah untuk kata sakit, yakni haban dan kapehe. Jika haban berarti suatu keadaan sakit secara umum atau mempengaruhi seluruh badan, tapi kapehe adalah sakit yang terjadi pada anggota tubuh tertentu saja.

Contoh di masa sekarang dapat dijadikan jawaban terhadap kegagalan bahasa daerah merespon kebutuhan komunikasi global yang ditandai masuknya “bahasa teknologi” melalui teknologi produksi sejak tahun 1970-an hingga teknologi media tahun 1990-an.
Persoalan seperti ini mengingatkan kita pada bahasa-bahasa daerah yang mulai terisolir, seperti bahasa Uski di Papua yang hanya dituturkan oleh sekitar 20 orang atau Kosare, Taori-So dan Taoqwe yang hanya memiliki 50-an penutur (Abdullah, 2006). Namun, yang terpenting dalam melestarikan bahasa tidak lain adalah rasa percaya diri atau tidak malu berbahasa daerah.


Judul buku       :  Ayo Belajar Bahasa Dayak Ngaju
Penulis             :  Anthony Nyahu

Penerbit           :  Pintu Cerdas
Halaman          :  150+xiii
Tahun Terbit    :  2010


Sungai Barito : Induk Sungai di Kalimantan Selatan dan Tengah

Bumi Kalimantan sesuai namanya, Kalimantan berarti pulau yang memiliki Sungai-Sungai besar (kali ‘Sungai’; mantan ‘besar’) (Riwut, 1993:3) antara lain: Sungai Kapuas, Sungai Kahayan, Sungai Mahakam dan Sungai Barito. Sungai Barito bermuara pada laut Jawa dan berhubungan langsung dengan ibukota Kalimantan Selatan yakni Banjarmasin, hulu Sungai Barito berada di kaki pegunungan Muller perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

Dari kaki pegunungan Muller hingga mencapai muara laut Jawa, panjang Sungai Barito mencapai 900 km, dengan lebar antara 650 m hingga mencapai 1000 m.

Perjuangan Rakyat Marabahan Peristiwa 5 Desember 1945 kabar Kemerdekaan RI DI Banjarmasin


Tidak banyak yang mengetahui atau mengingat kembali peristiwa heroik terjadi di Marabahan 58 tahun lalu, tepatnya 5 Desember 1945. Peristiwa 5 Desember 1945 tidak hanya kebanggaan rakyat Marabahan, juga masyarakat Kalimantan Selatan pada umumnya karena sebagai bukti perjuangan rakyat untuk kemerdekaan RI. Meskipun ada tenggang waktu sekitar empat bulan setelah proklamasi kemerdekaan RI, baru proklamasi kemerdekaan rakyat Marabahan sebagai perwujudan konsekwensi logis dukungan kemerdekaan, untuk hidup merdeka, bebas dalam menentukan nasib sendiri untuk bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia walaupun menempuh berbagai risiko berat.
Beberapa catatan menarik sekitar peristiwa 5 Desember 1945, perlu diungkap kembali mengingat mulai lunturnya penghargaan terhadap pejuang kemerdekaan tempo dulu. Begitu juga sedikit sekali catatan-catatan sejarah pejuang lokal yang dipublikasikan ditambah banyak saksi dan pelaku sejarah yang telah meninggal dunia.
Mengapa di Marabahan
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, banyak pejuang di luar P Jawa tidak mengetahuinya, disamping memang sengaja ditutup oleh pihak penjajah. Begitu pula dengan proklamasi kemerdekaan RI di Kalimantan Selatan tempo dulu yakni di Marabahan, selain alasan tersebut pendapat Maulani (1996) berita tentang proklamasi kemerdekaan memang agak terlambat datangnya ke Kalsel, karena pada masa itu hubungan antara Jawa dan “Borneo Selatan” boleh dikatakan terputus sama sekali.
Lebih jauh digambarkan, hubungan yang biasanya melalui laut dengan perahu rakyat, sejak April 1945 terputus sama sekali akibat interdiksi (larangan/embargo) udara oleh sekutu. Galangan kapal di Kuin dan Alalak pada Mei 1945 diratakan dengan tanah oleh sekutu yang muncul menyiram Banjarmasin setiap hari dengan gelombang demi gelombang aksi pemboman udara.
Akhirnya, informasi itu diketahui juga oleh rakyat Marabahan dan lebih meyakinkan lagi, mereka mengetahui lewat siaran radio. Pesawat radio saat itu sangat langka, dibeli dari tentara Australia yang menduduki Banjarmasin untuk melucuti tentara Jepang.
Klimaks perjuangan rakyat Marabahan terjadi 5 Desember ’45, namun latar belakang dan risiko terjadinya peristiwa proklamasi juga menjadi sejarah penting. Terhitung sejak 1 Desember hingga 7 Desember ’45 berdasarkan naskah sejarah perjuangan/pertempuran rakyat Marabahan dan sekitarnya oleh DPRD Dati II Batola (1984) merupakan peristiwa penting yang mengitari pengibaran bendera Merah Putih di Marabahan.
Tepat pada hari Sabtu 1 Desember 1945, para pemuda Marabahan membentuk organisasi Persatuan Pemuda Republik Indonesia (PRRI) bertujuan mengisi jiwa rakyat dengan semangat proklamasi 17 Agustus 1945. PRRI inilah yang membeli radio dari tentara Australia sehingga rakyat Marabahan dapat mendengarkan pidato-pidato dari para pemimpin Bangsa Indonesia.
Kedatangan motorboat “OHA YO” dari Sampit tanggal 3 Desember 1945 di Marabahan, berisi rombongan BPRI Pusat yang dikenal rombongan “9″ Expedisi Kalimantan dipimpin H Achmad, Burhan dan Djaderi. Mereka mengadakan pembicaraan dengan PRRI tentang hal-hal yang berkenaan dengan kelanjutan perjuangan mempertahankan kemerdekaan di daerah.
Tiga keputusan penting dihasilkan melalui rapat pimpinan dengan wakil-wakil segenap lapisan masyarakat setempat tepatnya hari Selasa 4 Desember 1945 di rumah Baidillah, yakni : (1) Melebur Persatuan Pemuda Republik Indonesia (PPRI) menjadi Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI); (2) Mengambil alih kekuasaan pemerintahan NICA oleh BPRI dan mengibarkan bendera Merah Putih dalam waktu sesegeranya; (3) Mengeratkan hubungan dengan Kesatuan Kelaskaran yang ada di Kalimantan, terutama BPRIK di Banjarmasin (Pengambangan).
Selain itu, rombongan “9″ Ekspedisi Kalimantan juga menyerahkan bantuan persenjataan berupa 6 pucuk Senapan Panjang type 91, 1 peti berisi 900 biji granat tangan dan 1 peti bom pembakar.
Hasil keputusan untuk mengambil alih kekuasaan memang benar-benar dilaksanakan dengan sesegeranya. Pada keesokan hari tepat pada Rabu 5 Desember 1945, terjadilah pengambil-alihan kekuasaan yang dilakukan Rujehan Fathur, Cs dan merampas 1 karabein type 95 berikut 1 pucuk senapan kembarsdan beberapa peluru.
Pada hari itu juga digelar rapat raksasa yang menurunkan bendera Merah Putih Biru dan menaikkan bendera Merah Putih diiringi lagu Indonesia Raya, dipimpin oleh M Syahruddin dan H Yacob di depan rumah eks controlir. Kemudian tampil ke depan beberapa orang tokoh seperti M Bahaudin Musa dan dari BPRI Ekspedisi Kalimantan yakni Djaderi.
Selesai rapat raksasa, tiang bendera Merah Putih dijaga beberapa anggota bekas Kaigon Heiho yakni Ajian, Bahran, Bahrian, Halul, Huldi (Tuhul), Badarussalam dan lain-lain. Selanjutnya sekitar jam 11:30 diadakan rapat perobahan personalia kepengurusan BPRI dan membentuk Dewan Markas BPRI yang bertanggung jawab menghadapi segenap risiko yang terjadi setelah proklamasi 5 Desember 1945.
Sehari setelah proklamasi, rakyat Marabahan mengibarkan bendera Merah Putih dari pukul 06:00 pagi sampai pukul 18:00. Selanjutnya sebagian pasukan perjuangan BPRI dipimpin H Arbain dengan kapal motor Ohayo berangkat menuju Belawang dan mengambil tindakan tegas terhadap Kepala Pemerintahan NICA, pengambil-alihan kekuasaan di Belawang mendapat dukungan pejuang setempat oleh H Mugeni bin Ahim, Bulkani bin Aspar dan M Aini bin Rais di bantu masyarakat Belawang.
Hari Kamis 6 Desember 1945 itu tersiar kabar, akan ada penyerbuan tentara NICA dari Margasari untuk merebut kembali Marabahan. Sore harinya, jam 15.00 pertempuran dari sungai Negara dan Marabahan tidak bisa dihindari. Kontak senjata tersebut tidak ada yang tewas, kecuali tali Bendera Merah Putih yang berkibar di depan rumah eks, Kontrolir putus, sementara tentara NICA berhasil dipukul mundur.
Pertempuran lebih seru pecah di hari Jumat 7 Desember 1945, yang sejak sore Kamis bantuan serdadu NICA datang dengan kapal besar Hap Guan dari Banjarmasin Pejuang Bakumpai Marabahan di kepung dari dua sisi, yakni dari Ulu Benteng dari sebelah Barat dan sebelah timur di Kampung Bagus. Kedudukan pasukan BPRI yang terjepit dengan persenjataan seadanya tidak membuat surut para pejuang untuk bertempur hebat meskipun mereka harus memilih mundur dengan keberhasilan menduduki Marabahan selama 3 hari dan 3 malam.
Setelah Marabahan dikuasai kembali oleh tentara Nica, terjadilah penangkapan besar-besaran serta perampasan senjata tajam diiringi penganiayaan baik terhadap pejuang atau penduduk setempat.
Mengapa daerah Marabahan sebagai pertama kali di Kalimantan Selatan mengibarkan bendera Merah Putih secara resmi, tidak lain karena tidak digagalkannya perjuangan rakyat Banjarmasin pada tanggal 9 Nopember 1945. Oleh Kolonel H Hasan Basri (1961) dalam bukunya Kisah Gerila Kalimantan (Dalam Revolusi Indonesia) dijelaskan bahwa penyerangan itu adalah semata-mata kenekatan pemuda-pemuda pencinta tanah air yang telah mengikrarkan sumpahnya.
Kabut Sejarah
Ternyata ada sejarah yang masih tertutupi dalam proklamasi 5 Desember 1945 tersebut. Mungkin karena pendokumentasian sejarah yang tidak melibatkan sejarawan, sehingga masih sulit melepaskan dari unsur subjektif. Adapun naskah sejarah perjuangan yang disusun oleh anggota DPRD Batola tahun 1984 mendapat kritik dari R Rangga pengamat sejarah lokal, bahwa ada unsur ketidakberanian menyebutkan pengkhianat bangsa yaitu Anang Kaderi dari pemerintahan NICA di Marabahan ketika peristiwa pelucutan senjata. Begitu pula tidak ada tulisan tentang keterlibatan perjuangan kaum perempuan seperti Ucu Idut istri Imran Aziz yang menggantikan perjuangan suaminya selama mengasingkan diri.
Begitu pula, bila diuraikan lebih jauh ke belakang, maka perjuangan rakyat Marabahan terutama pejuang Bakumpai tidak hanya berkobar hebat pada kejadian 5 Desember 1945 saja. Ada benang merah yang jelas membentang dengan perjuangan melawan penjajah sejak masa kerajaan Banjar, orang-orang Bakumpai bersama etnis Dayak lain hingga ke hulu Barito jelas tidak hanya membantu perjuangan pihak kerajaan Banjar terutama bangsawan Banjar yang rela keluar masuk hutan melawan penjajah.
Masyarakat Bakumpai dan etnis dayak lainnya juga turut bersimbah darah dan menyediakan tempat untuk daerah-daerah perlawanan, perlawanan hebat juga dilakukan oleh panglima Wangkang atau sebelumnya keberhasilan pejuang Dayak dalam perang Barito untuk menenggelamkan kapal Onrust. Mereka juga bahu membahu dengan Pangeran Antasari serta keturunannya melawan Belanda. Tapi sejarah masih saja berselimut kabut, perjuangan mereka nampaknya terkesan hanya dianggap sebagai pelengkap sejarah saja. Entah kenapa?
http://www.indomedia.com/bpost/042005/6/opini/opini1.htm

Trans Kalimantan Wajah Kalimantan selatan – Kalimantan tengah di Perbatasan (Catatan di Anjir Jalan Trans Kalimantan)

Setelah beberapa kali melalui Anjir jalan trans Kalimantan (selanjutnya disebut trans Kalimantan saja) sepanjang kurang lebih 30 km antara Anjir Muara, Anjir Pasar hingga Anjir Serapat ternyata memberikan pengalaman dan kesan tersendiri bagi kita. Hal tersebut terjadi karena perbedaan kondisi badan jalan dan lingkungan sekitarnya. Bahkan nyaris sejengkal saja melewati pintu gerbang sebagai salah satu tapal batas propinsi sudah terasa perbedaan antara jalan mulus dan tidak rata.

Jalan raya bukan hanya suatu media fisik yang menghubungkan satu daerah dengan daerah lain. Secara sosial dan keagamaan jalan raya merupakan teks yang ditafsirkan berdasarkan kenyataan atau pengalaman dalam mengarungi ruang dan waktu di jalan raya tersebut. Di sana terdapat simbol sebagai penanda, dan disadari atau tidak menuntut pemaknaan dari kita sendiri. Bahkan bisa menjadi suatu relasi oposisi, terutama apabila jalan raya terletak di perbatasan satu daerah dengan daerah yang lain.

Para pengendara yang kerap melintas trans Kalimantan, mudah mengetahui berada di wilayah Kalsel atau Kalteng tanpa harus melihat keluar. Cukup dengan menutup mata akan tahu berada di wilayah mana. Melintaslah di jalan raya tersebut, manakala tubuh mengalami guncangan hebat berarti memasuki wilayah Kalsel. Pengalaman penulis ketika tubuh terguncang-goncang di atas mobil, secara serempak teman-teman berteriak “Selamat datang di Kalimantan Selatan”. Sebaliknya, ketika sejengkal saja memasuki Kalimantan Tengah, mereka pun meneriakkan “Anda memasuki wilayah Kalimantan Tengah”. Inilah bahasa yang disampaikan ketika tubuh merasakan ketenangan di dalam mobil atau motor karena dapat melaju dengan nyaman di atas jalan mulus.

Sepanjang wilayah Kalsel terutama sejak turun dari jembatan Barito hingga perbatasan Kalteng, selalu ditemukan jalan bergelombang disertai debu-debu beterbangan membuat mata terasa perih dan sesak nafas. Sebaliknya, ketika memasuki wilayah Kalteng, pengendara menikmati jalan mulus bebas guncangan dan bisa bernafas lega tanpa debu-debu jalanan. Ketika berada di wilayah Kalsel, terasa kita berada di ruang sempit karena tersiksa oleh jalan yang penuh lobang dan sesak nafas. Keadaan demikian membuat waktu terasa begitu lama berlalu. Pengendara yang semestinya menempuh waktu hanya beberapa menit saja, tapi merasa berjam-jam lamanya karena tersiksa oleh keadaan jalan. Perjalanan panjang dan berjam-jam di wilayah Kalteng, terasa sebentar saja karena jalan yang dilewati tidak mengalami masalah. Inilah teks dari oposisi di jalan raya yakni “jalan rusak” di Kalsel versus “jalan mulus” dari Kalteng.

Dari pengalaman demikian, membentuk opini tersendiri terutama oleh masyarakat Kalsel yang merindukan jalan mulus seperti di Kalteng. Masyarakat Kalsel di Anjir perbatasan Kalteng, barangkali secara diam-diam merasa cemburu kepada tetangganya karena memiliki jalan raya yang mulus. Padahal, tidak ada beda kualitas tanah jalan Trans Kalimantan sepanjang Anjir Pasar, Anjir Muara dan Anjir Serapat. Namun, yang membedakannya hanyalah batas geografis pemerintahan antara Kalsel dan Kalteng. Sudah banyak keluh kesah disampaikan oleh masyarakat Kalsel baik melalui surat pembaca maupun sms di media massa, yang menunjukkan perbedaan suasana jalan raya di perbatasan Kalsel dan Kalteng.

Bila pengalaman melintasi ruang dan waktu di jalan raya sebagaimana catatan di atas dapat menunjukkan fenomena sosial, begitu pula kehidupan beragama masyarakat sekitarnya dapat diintip di sepanjang jalan trans Kalimantan. Melintasi wilayah Kalsel di Anjir Pasar dan Muara para pengendara tidak hanya direpotkan oleh kondisi jalan, juga disemarakkan oleh suara para peminta-minta sumbangan untuk pembangunan masjid atau pun musholla. Sebaliknya, memasuki wilayah Kalteng tidak ada keramaian seperti itu. Padahal masjid dan musholla juga banyak bertebaran di sepanjang jalan. Rupanya tanpa meminta-minta tempat ibadah umat Islam di Kalteng khususnya sepanjang jalan Trans Kalimantan tetap dalam keadaan terawat dengan baik. Inilah potret wajah ironis keagamaan di Kalsel yang tidak hanya terjadi di sepanjang jalan Trans Kalimantan, tapi juga hampir di seluruh pelosok Kalsel yang kaya dengan hasil tambang.

Suatu daerah yang berada di pinggiran, tapi berada di wilayah perbatasan atau bertetangga wilayah lain sungguh tidak bisa diabaikan keadaannya karena di situlah orang dengan mudah membandingkan kemajuan antar daerah. Di situ pulalah citra dan martabat pemimpin dipertaruhkan karena masyarakat akan kesuksesan kepemimpinan antar daerah. Oleh karena itu, hendaknya timbul rasa malu ketika melihat wajah daerahnya sendiri yang terlihat kusut, apalagi kemajuan di daerah tetangga berlangsung dengan pesat.

Konon, sejak awal peralihan kepemimpinan pemerintahan Kalteng pembangunan terus digenjot semaksimal mungkin. Ibarat seraut wajah, Kalteng adalah seorang gadis yang pandai bersolek dan merawat wajahnya agar selalu segar, terlihat bersih dan tampil cantik. Adapun wajah Kalsel seolah penuh dengan jerawat karena jarang terawat.

Setelah bertahun-tahun menikmati jalan Trans Kalimantan, kini telah muncul perubahan yang dirasakan para pengendara ketika memasuki wilayah Kalsel dari arah Kalteng. Perbaikan jalan raya sudah mulai dilakukan, sebuah baliho bergambar sosok kepala daerah terpampang dengan jelas menyampaikan permintaan maaf bahwa jalan sedang diperbaiki. Namun, dari semuanya itu benar-benar menunjukkan keadaan yang berbeda atau relasi inversional (pembalikan) antara Kalsel dan Kalteng yakni dari “jalan mulus” versus “jalan rusak”, dari pembangunan di awal kepemimpinan versus di akhir kepemimpinan. Sungguh dua wajah yang berbeda.

Bakumpai : Dayak dan Muslim sungai . Barito Nasrullah

Oleh: Nasrullah

Tulisan ini saya ingin membahas tentang Bakumpai, sebagai Dayak dan juga tidak dipisahkan sebagai pemeluk ajaran Islam (muslim). Pembahasan awal saya ingin menelaah silisilah ke-Dayak-an Bakumpai kemudian dilanjutkan tentang identitas Bakumpai sebagai Muslim.
Pandangan orang lain terhadap suku-bangsa tertentu, nampaknya masih berhubungan dengan suatu agama yang seakan menjadi agama resmi suku-bangsa bersangkutan. Ketika saya belum terlalu mengenal jauh misalnya tentang Jawa, Batak, Papua, Bali, saya menduga suku-suku bangsa ini telah menganut suatu agama tertentu sebagai agama resmi. Bagi saya orang Jawa mesti beragama Islam, orang Batak beragama Kristen, suku-suku bangsa di Papua juga Kristen dan orang Bali menganut agama Hindu atau Budha. Pandangan saya ini keliru, tidak semua orang dengan latar belakang suku-bangsa tersebut beragama seperti yang saya fikirkan.