Rabu, 22 Juni 2011

Trans Kalimantan Wajah Kalimantan selatan – Kalimantan tengah di Perbatasan (Catatan di Anjir Jalan Trans Kalimantan)

Setelah beberapa kali melalui Anjir jalan trans Kalimantan (selanjutnya disebut trans Kalimantan saja) sepanjang kurang lebih 30 km antara Anjir Muara, Anjir Pasar hingga Anjir Serapat ternyata memberikan pengalaman dan kesan tersendiri bagi kita. Hal tersebut terjadi karena perbedaan kondisi badan jalan dan lingkungan sekitarnya. Bahkan nyaris sejengkal saja melewati pintu gerbang sebagai salah satu tapal batas propinsi sudah terasa perbedaan antara jalan mulus dan tidak rata.

Jalan raya bukan hanya suatu media fisik yang menghubungkan satu daerah dengan daerah lain. Secara sosial dan keagamaan jalan raya merupakan teks yang ditafsirkan berdasarkan kenyataan atau pengalaman dalam mengarungi ruang dan waktu di jalan raya tersebut. Di sana terdapat simbol sebagai penanda, dan disadari atau tidak menuntut pemaknaan dari kita sendiri. Bahkan bisa menjadi suatu relasi oposisi, terutama apabila jalan raya terletak di perbatasan satu daerah dengan daerah yang lain.

Para pengendara yang kerap melintas trans Kalimantan, mudah mengetahui berada di wilayah Kalsel atau Kalteng tanpa harus melihat keluar. Cukup dengan menutup mata akan tahu berada di wilayah mana. Melintaslah di jalan raya tersebut, manakala tubuh mengalami guncangan hebat berarti memasuki wilayah Kalsel. Pengalaman penulis ketika tubuh terguncang-goncang di atas mobil, secara serempak teman-teman berteriak “Selamat datang di Kalimantan Selatan”. Sebaliknya, ketika sejengkal saja memasuki Kalimantan Tengah, mereka pun meneriakkan “Anda memasuki wilayah Kalimantan Tengah”. Inilah bahasa yang disampaikan ketika tubuh merasakan ketenangan di dalam mobil atau motor karena dapat melaju dengan nyaman di atas jalan mulus.

Sepanjang wilayah Kalsel terutama sejak turun dari jembatan Barito hingga perbatasan Kalteng, selalu ditemukan jalan bergelombang disertai debu-debu beterbangan membuat mata terasa perih dan sesak nafas. Sebaliknya, ketika memasuki wilayah Kalteng, pengendara menikmati jalan mulus bebas guncangan dan bisa bernafas lega tanpa debu-debu jalanan. Ketika berada di wilayah Kalsel, terasa kita berada di ruang sempit karena tersiksa oleh jalan yang penuh lobang dan sesak nafas. Keadaan demikian membuat waktu terasa begitu lama berlalu. Pengendara yang semestinya menempuh waktu hanya beberapa menit saja, tapi merasa berjam-jam lamanya karena tersiksa oleh keadaan jalan. Perjalanan panjang dan berjam-jam di wilayah Kalteng, terasa sebentar saja karena jalan yang dilewati tidak mengalami masalah. Inilah teks dari oposisi di jalan raya yakni “jalan rusak” di Kalsel versus “jalan mulus” dari Kalteng.

Dari pengalaman demikian, membentuk opini tersendiri terutama oleh masyarakat Kalsel yang merindukan jalan mulus seperti di Kalteng. Masyarakat Kalsel di Anjir perbatasan Kalteng, barangkali secara diam-diam merasa cemburu kepada tetangganya karena memiliki jalan raya yang mulus. Padahal, tidak ada beda kualitas tanah jalan Trans Kalimantan sepanjang Anjir Pasar, Anjir Muara dan Anjir Serapat. Namun, yang membedakannya hanyalah batas geografis pemerintahan antara Kalsel dan Kalteng. Sudah banyak keluh kesah disampaikan oleh masyarakat Kalsel baik melalui surat pembaca maupun sms di media massa, yang menunjukkan perbedaan suasana jalan raya di perbatasan Kalsel dan Kalteng.

Bila pengalaman melintasi ruang dan waktu di jalan raya sebagaimana catatan di atas dapat menunjukkan fenomena sosial, begitu pula kehidupan beragama masyarakat sekitarnya dapat diintip di sepanjang jalan trans Kalimantan. Melintasi wilayah Kalsel di Anjir Pasar dan Muara para pengendara tidak hanya direpotkan oleh kondisi jalan, juga disemarakkan oleh suara para peminta-minta sumbangan untuk pembangunan masjid atau pun musholla. Sebaliknya, memasuki wilayah Kalteng tidak ada keramaian seperti itu. Padahal masjid dan musholla juga banyak bertebaran di sepanjang jalan. Rupanya tanpa meminta-minta tempat ibadah umat Islam di Kalteng khususnya sepanjang jalan Trans Kalimantan tetap dalam keadaan terawat dengan baik. Inilah potret wajah ironis keagamaan di Kalsel yang tidak hanya terjadi di sepanjang jalan Trans Kalimantan, tapi juga hampir di seluruh pelosok Kalsel yang kaya dengan hasil tambang.

Suatu daerah yang berada di pinggiran, tapi berada di wilayah perbatasan atau bertetangga wilayah lain sungguh tidak bisa diabaikan keadaannya karena di situlah orang dengan mudah membandingkan kemajuan antar daerah. Di situ pulalah citra dan martabat pemimpin dipertaruhkan karena masyarakat akan kesuksesan kepemimpinan antar daerah. Oleh karena itu, hendaknya timbul rasa malu ketika melihat wajah daerahnya sendiri yang terlihat kusut, apalagi kemajuan di daerah tetangga berlangsung dengan pesat.

Konon, sejak awal peralihan kepemimpinan pemerintahan Kalteng pembangunan terus digenjot semaksimal mungkin. Ibarat seraut wajah, Kalteng adalah seorang gadis yang pandai bersolek dan merawat wajahnya agar selalu segar, terlihat bersih dan tampil cantik. Adapun wajah Kalsel seolah penuh dengan jerawat karena jarang terawat.

Setelah bertahun-tahun menikmati jalan Trans Kalimantan, kini telah muncul perubahan yang dirasakan para pengendara ketika memasuki wilayah Kalsel dari arah Kalteng. Perbaikan jalan raya sudah mulai dilakukan, sebuah baliho bergambar sosok kepala daerah terpampang dengan jelas menyampaikan permintaan maaf bahwa jalan sedang diperbaiki. Namun, dari semuanya itu benar-benar menunjukkan keadaan yang berbeda atau relasi inversional (pembalikan) antara Kalsel dan Kalteng yakni dari “jalan mulus” versus “jalan rusak”, dari pembangunan di awal kepemimpinan versus di akhir kepemimpinan. Sungguh dua wajah yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih, komentar anda sangat berarti bagi ega. Isi pendapat anda tentang blog ini di Testimoni. Tinggalkan pesan di Blogroll untuk tukaran link